halaman

Selasa, 17 Januari 2012

12 FAEDAH IMAN KEPADA TAQDIR

Ketika seoarang benar-benar beriman kepada Taqdir Allah Azza wa Jalla maka ia akan menikmati beberapa kenikmatan  didunia maupun  akhirat yang mana ia terangkum dalam 12 faedah berikut ini:

1.    Melaksanakan Penghambaan Kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dengan sebenar benarnya:
Iman kepada taqdir Allah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah dan merupakan bagian dari kesempurnaan hamba dalam perwujudan peribadatan kepada Robnya. Setiap bertambahnya iman seorang hamba terhadap taqdir Allah maka bertambah  peribadatannya kepada Allah. Maka setiap hal yang ia alami baik merupakan hal yang ia benci , maka itu akan menjadi kebaikan baginya dan ia kan mendapatkan pahala yang sangat besar.


2.     Terbebas dari Kesyirikan
Kaum Majusi (para penyembah api) berkeyakinan bahwa cahaya adalah pencipta kebaikan dan kegelapan adalah pencipta keburukan. Sedangkan qodariyah berkeyakinan sesungguhnya Allah tidak menciptakan perbuatan hamba namun hambalah yang menciptakan sendiri perbuatannya. Kesimpulannya : mereka berkeyakinan bahwa ada dua pencipta bersama Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan sesat semacam ini adalah kesyirikan terhadap iman kepada taqdir Allah ‘Azza wa Jalla..
Sedangkan orang yang beriman kepada taqdir Allah meyakini bahwa seluruh yang akan terjadi, semuanya di bawah kehendak Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi kepada siapa saja yang Dia kehedaki dan Dia adalah Dzat Yang Maha Menahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tidak ada yang dapat menolak taqdir dan hukum Allah. Hal ini merupakan bentuk Tauhid kepada Allah, sehingga orang yang memiliki keyakinan semacam ini pasti  tidak akan mendekatkan dirinya dalam ibadah selain hanya kepada Allah semata dan ia terhindar dari perbuatan syirik semisal mengelus-elus kuburan orang sholeh (dengan khurofatnya berharap hal tertentu akan terjadi padanya).

3.     Mendapatkan Hidayah dan Tambahan Iman
Orang yang beriman kepada taqdir Allah dengan iman yang benar , maka ia telah merealisasikan tauhidnya, menambah imannya, ia akan mendapatkan hidayah dari Robnya dengan mudah. Bahkan iman kepada taqdir Allah itu adalah bagian dari bentuk hidayah Allah baginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya”. ( QS. Muhammad [47] : 17).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya”. ( QS. Ath Taghbun [64] : 11).

4.     Memudahkaan hati untuk Ikhlas beramal karena Allah
Iman terhadap taqdir Allah akan menggiring pelakunya kepada keikhlasan. Maka ikhlas ini akan menjadi faktor pendorong baginya dalam seluruh amalnya dalam rangka melaksankan perintah Allah. Seorang yang beriman akan menyakini bahwa segala perkara adalah perkara yang Allah tentukan, semua kerajaan adalah milik Allah, kehendak Allah pasti terlaksana dan hal yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terlaksana, tidak ada yang dapat menolak keutamaan dari Allah, tidak juga ada yang dapat menetang ketetapan Allah. Hal-hal ini akan menuntun orang yang mengimaninya untuk mudah ikhlas dalam beramal kepada Allah dan menyucikannya dari riya’ dan pamer. Karena tidak adanya faktor pendorong untuk tidak ikhlas yang ada pada dirinya.

5.     Tawakkal yang Benar dan Sempurna
Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, tawakkal tidaklah benar dan lurus kecuali tawakkalnya orang yang beriman terhadap taqdir dengan iman yang benar. Tawakkal artinya  adalah : “mengahadapnya hati kepada Allah (ikhlas) ketika beramal, senantiasa memehon pertolongan dari Allah dan hanya berpegang/bersandar kepada Allah semata”. Maka inilah rahasia dan hakikat tawakkal. Orang yang benar-benar melaksanakan tawakkal kepada Allah adalah orang yang juga mengambil sebab-sebab yang diperintahkan Allah, barangsiapa yang tidak mau mengambilnya maka tawakkalnya bukanlah tawakkal yang benar.
Jika seorang hamba bertawakkal terhadap Robnya, berserah diri kepadaNya, mempercayakan urusannya kepadaNya, maka Allah akan anugrahkan kepadanya kekuatan, keinginan yang kuat, kesabaran dan Allah akan palingkan darinya malapetaka.

6.     Takut kepada Allah karena khawatir pada taqdirnya
Orang yang beriman terhadap taqdir Allah, akan kita temukan bahwa ia adalah orang yang senantiasa takut kepada Allah, khawatir jangan-jangan ia mati dalam keadaan su’ul khotimah (akhir yang buruk) karena dia tidaklah tahu apa yang akan terjadi padanya pada akhir hayatnya maka ia tidak akan pernah merasa aman dari siksa Allah.
Jika demikian maka ia akan menganggap amal sholeh yang telah ia lakukan hanya sedikit sehingga ia tidak tertipu dengan amal sholeh yang telah ia kerjakan. Karena sesungguhnya hati manusia berada diantara jari jemari Allah Ar Rohman, yang hati tersebut Allah lah yang membolak-baliknya seseuai dengan kehendakNya. Sedangkan akhir perbuatan seseorang hanyalah Allah ‘Azza wa Jalla yang menentukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,

فَوَاللَّهِ إِنَّ أَحَدَكُمْ – أَوِ الرَّجُلَ – يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، فَيَدْخُلُهَا ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ ذِرَاعَيْنِ ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ، فَيَدْخُلُهَا
“Demi Allah sesungguhnya seseorang diantara kalian ada yang beramal dengan amalan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan api neraka hanya satu hasta atau satu depa namun taqdir telah mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan penghuni surga sehingga ia masuk ke surga. Dan ada seorang yang beramal dengan amalan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga hanya satu atau dua hasta namun taqdir telah mendahuluinya maka ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga memasukkannya ke neraka”[1].

7.    Memiliki rasa Roja’ (harapan) dan Baik Sangka terhadap Allah.
Orang yang beriman terhadap taqdir adalah orang yang berbaik sangka terhadap Allah, dan memiliki sikap roja’ yang kuat. Hal ini karena ia tahu bahwa Allah tidaklah menetapkan suatu ketetapan kecuali ketetapan tersebut berupa keadilan, kasih sayang atau bijaksana (penuh hikmah).

8.     Ridho
Orang yang beriman terhadap taqdir Allah keadaannya dapat menjadi lebih mulia hingga tingkatan menjadi orang yang ridho. Barangsiapa yang ridho terhadap Allah maka Allah pun akan meridhoinya bahkan ridho seorang hamba terhadap Allah merupakan hasil dari ridho Allah pada hamba tersebut. Ridho Allah akan segera datang dalam dua bentuk,
[1]. Ridho Allah sebelumnya, yang menghasilkan ridho hamba kepada Allah
[2]. Ridho Allah setelahnya yang merupakan buah dari ridho Allah kepada hamba

Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang hatinya dipenuhi kecintaan terhadap taqdir Allah maka Allah akan memenuhi hatinya dengan merasa cukup, rasa aman, qona’ah, alirkan hatinya terhadap kecintaan kepada Allah, merasa kembali kepadanya serta bertawakkal kepada Allah. Dan barangsiapa yang hilang darinya sebagian ridho terhadap taqdir Allah maka Allah akan penuhi hatinya dengan sebaliknya, Allah akan membuatnya sibuk dari hal-hal yang akan membahagiakannya”[2]..

9.    Rasa  Syukur kepada Allah
Orang yang beriman terhadap taqdir Allah mengetahui bahwa nikmat yang ada pada dirinya hanyalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Sesungguhnya Allah lah yang mampu untuk menghindarkan dari seluruh hal yang dibenci dan dimurkai. Maka pengetahuannya tersebut membawanya untuk mentauhidkan Allah dalam masalah syukur. Jika menimpanya hal-hal yang disenanginya maka ia akan bersyukur terhadap , dan jika menimpanya hal-hal yang ia tidak senangi maka ia pun bersyukur atas taqdir Allah atas dirinya dengan menahan amarah, caci maki, dan tentu memperhatikan adab dan bertindak sesuai dengan iman terhadap taqdir. Karena sesungguhnya ilmu dan adab kepada Allah akan menggiring pemiliknya agar bersyukur kepada Allah terhadap semua hal yang menimpanya baik yang ia senangi ataupun yang ia benci. Walaupun syukur untuk hal yang kedua lebih berat dan lebih sulit oleh karena itu syukur jenis ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan syukur jenis yang pertama.
Jika seseorang senantiasa bersyukur atas semua yang menimpanya maka nikmat Allah akan senantiasa tertuang untuknya dan mengalir untuknya karena syukur adalah pengikat nikmat yang telah ada dan pemburu nikmat yang hilang (belum ada –ed.). Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian bersyukur maka akan aku tambah nikmatku”. ( QS. ‘Ibrohim [14] : 7).

10.     Kegembiraan karena Allah
Orang yang beriman terhadap taqdir Allah akan merasa senang gembira dengan keimanannya ini yang mana sebagaian orang Allah cegah darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya (hidayah berupa iman,  amal sholeh, menjauhi kesyirikan dan maksiat), hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (berupa harta, unta dan sapi yang banyak)”. ( QS. Yunus [10] : 58). [3]

Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan, “Kebahagian/kesenangan (terhadap taqdir Allah) adalah nikmat hati yang paling tinggi, kelezatan dan keindahan. Maka kebahagian/kesenangan (terhadap taqdir Allah) adalah nikmat Allah sedangkan kesedihan  (terhadap taqdir Allah) adalah adzabnya.
Bahagia terhadap sesuatu derajatnya lebih tinggi daripada ridho terhadapnya karena ridho adalah rasa tenang dan lapang. Sedangkan bahagia adalan kelezatan dan keindahan. Maka setiap kebahagian sudah pasti telah ridho namun tidak setiap ridho adalah kebahagiaan. Oleh karena itulah kebagiaan merupakan lawan dari kesedihan dan ridho adalah lawan dari mencela/marah. Kesedihan membuat orang yang tertimpanya menjadi terluka sedangkan orang yang cacian/amarah tidaklah membuat pelakunya terluka kecuali orang yang tidak mampu untuk melawan/membalasnya”[4].

11.      Ilmu terhadap Hikmah Allah ‘Azza wa Jalla
Banyak hal yang terjadi pada kita lalu kita mengingkarinya padahal hal tersebut baik untuk kita. Demikian juga banyak hal yang wujudnya adalah kemaslahatan sehingga kita mencintainya padahal hal tersebut hikmahnya (sebenarnya bukanlah merupakan kebaikan untuk kita.). Maka Dzat Yang Mengatur Manusia lebih mengetahui segalanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. ( QS. Al Baqoroh [2] : 216).

12.     Membersihkan pemikiran dari Keyakinan sesat dan Khurofat
Diantara hidayah yang akan didapat seseorang yang beriman terhadap taqdir Allah adalah :  iman bahwa hal yang terjadi di alam semesta ini mengikuti aturan Taqdir Allah ‘Azza wa Jalla, padahal  taqdir Allah adalah sebuah rahasia yang terkunci rapat yang tidak ada yang tahu kecuali Allah serta tidak diperlihatkan kepada seseorang melainkan hanya kepada mahluk yang Allah ridhoi dari kalangan malaikat/rosul dengan wahyu.
Dari sudut pandang ini maka anda akan dapati seorang yang beriman kepada taqdir Allah tidak akan percaya kepada dukun, peramal dan tidak akan pergi mendatangi mereka. Dia tidak akan percaya perkataan, kepalsuan mereka sehingga dia akan selamat dari palsunya perkataan mereka kemudian dia akan terbebas dari keyakinan-keyakinan yang bathil dan khurofat.

*sumber  Kitab Al Iman Bil Qodho’ wal Qodar oleh DR. Muhammad bin Ibrohim Al Hamd hal. 89-98 terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, Riyadh, KSA.]
Semoga
By: abu riyadl
________________________________________
[1] HR. Bukhori no. 6594
[2] Madarijus Salikin hal. 202/II.
[3 Lihat Aisarut Tafaasiir oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairiy hal. 373/II terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikaam Madinah, KSA.
[4] Madarijus Salikin hal. 150/III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar